ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN

Senin, 03 Oktober 2011 0 comments
Bahan Bacaan Renungan Harian Kristen hari ini : Matius 17:24-27)

Pajak….. apalagi namanya kalau bukan suatu kewajiban? Sebagai warga Negara yang baik tentu berkewajiban membayar pajak. Itu salah satu bentuk  apa yang disebut dengan kewajiban alias tanggung jawab. Masih banyak lagi contoh-contoh tentang kewajiban yang boleh kita sebutkan dalam kehidupan, baik tanggung jawab sebagai suami/isteri, tanggung jawab anak, tanggung jawab guru/murid, tanggung jawab pekerja/majikan, tanggung jawab orang beriman, dan masih banyak lagi yang lainnya. Lalu soal hak? Bah, saudara….. bila kita bicara soal hak…. rasa-rasanya, dan memang kenyataannya hampir tidak ada orang yang merelakan begitu saja haknya.

Bukankah sering terjadi orang berperkara dengan tetangga hingga ke pengadilan gara-gara sengketa masalah saling mempertahankan urusan sejengkal tanah? Bukankah juga yang sering kita dengar di beberapa daerah terjadi kericuhan gara-gara masyarakat menuntut hak? Menuntut diturunkannya harga BBM, menuntut hak ganti rugi, menuntut dibebaskannya uang SPP, menuntut keadilah dan perlindungan hukum, dan banyak lagi tuntutuan-tuntutan lainnya. Bahkan demi menuntut hak, tidak jarang orang rela saling bunuh-bunuhan! Dan memang manusia di dunia ini seolah-olah lebih banyak mempersoalkan tentang hak. Mencari hak. Mengejar hak, ketimbang mempersoalkan kewajiban. Hak dituntut mati-matian, kewajiban seolah mau dihindarkan.

Hak asasi manusia memang sesuatu yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran, dan seterusnya. Hak selalu beriringan dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika keseimbangan itu tidak ada maka akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Sebagai seorang warga Negara yang baik kita harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Alkitab sendiri mengajarkan kepada kita untuk me­ngerjakan kewajiban. Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. 

Berbicara soal kewajiban, khususnya  membayar pajak, rupaya sudah terjadi sejak jaman dulu. Kewajiban membayar pajak sudah ditetapkan sejak zaman Musa (Kel.30:13). Bahkan soal pajak itu juga bukan hanya soal kewajiban rakyat terhadap Negara, tetapi juga berlaku bagi umat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan aktivitas di Bait Allah waktu itu.  Bea yang dituntut bukanlah pembayaran sipil kepada pemerintahan Roma tetapi tanggungjawab keagamaan, khususnya pajak untuk Bait Allah. Pembayaran setengah syikal itu diwajibkan bagi semua orang untuk pelayanan di dalam Bait Allah. Ini adalah untuk mengganti semua biaya yang berkenaan dengan penyembahan di sana. Uang ini disebut, “uang pendamaian karena nyawanya” (Keluaran 30:12). Bea Bait Allah sebesar 2 dinar adalah setara dengan gaji 2 hari kerja waktu itu. Ketika Yesus tiba di Kapernaum, demikian dituturkan oleh nas kita, pemungut pajak datang dan bertanya kepada Petrus, salah seorang murid Yesus, “Apakah Gurumu juga akan membayar pajak Bait Allah?” Petrus menjawab, “Ya, Dia akan membayar pajak.”

Saudara, ini pertanyaan sederhana, tetapi sarat makna. Menarik untuk kita kritisi! Kenapa? Karena dalam pertanyaan ini  mengandung  unsur perkara yang sangat penting berkaitan dengan soal hak dan kewajiban alias tanggung jawab. Tuntutan pembayaran bea ini diajukan oleh para pemungut bea melalui Petrus, yang rumahnya berada di Kapernaum, dan mungkin pada waktu itu Kristus sedang menginap di rumahnya. Oleh karena itu, dialah orang yang tepat untuk diajak bicara, sebab dialah tuan rumahnya, dan mereka menganggap bahwa Petrus mengetahui pikiran Gurunya. Pertanyaan mereka adalah, “Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” Sebagian penafsir berpendapat bahwa mereka ini mencari-cari kesempatan untuk menentang Yesus. Seandainya Yesus menolak membayar, mereka akan mengatakan Yesus sebagai orang yang tidak menghargai ibadah di Bait Allah, dan para pengikut-Nya adalah orang-orang yang tidak taat hukum, yang tidak lagi membayar pajak, upeti atau bea (bdk. Ezra 4:13).

Tentu saja pertanyaaan ini hendak memastikan orang macam apakah Yesus itu? Bukankah Dia sendiri pernah menyatakan bahwa Bait Allah itu adalah rumah Bapak-Nya? Kedua, perrhatikan makna ucapan Yesus ketika dalam dialog dengan Petrus,  “Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut  pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” Jawab Petrus: “Dari orang asing!” (karena memang kebiasaan waktu itu, bahwa yang ditagih pajak hanyalah diperuntukkan bagi bangsa yang terjajah oleh si penjajah, seperti penjajah Romawi). Maka kata Yesus kepadanya: “Jadi bebaslah rakyatnya.”.  Apa arti yang tersirat dari pernyataan Yesus tersebut? Nah ini, saudara. Sebenarnya Yesus, selaku Anak Allah, secara pribadi tidak berkewajiban untuk membayar bea bagi rumah Allah. Babas dari soal tanggung jawab membayar pajak untuk Bait Allah. Tapi tunggu dulu. Ceritanya tidak hanya sampai di situ, karena Yesus pun melanjutkan pernyataannya, pada ayat 27: “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.” 

Perkataan Yesus ini adalah hal yang luar biasa, suatu puncak kerendahan hati. Dalam soal Yesus membayar bea untuk Bait Allah merupakan bentuk pemenuhan Tuntutan Taurat. Kita perlu memahami bahwa Yesus dalam keadaan daging-Nya telah memenuhi alasan  Taurat (Galatia 4:4). Alasan di bawah Taurat inilah Ia dibayarkan bea pada usia empat puluh hari (Lukas 2:22). Dan sekarang Ia membayarnya bagi diri-Nya sendiri, sebagai orang yang dalam keadaan merendahkan diri telah mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:7-8). Yesus, sekalipun Dia adalah Anak Allah, rela merendahkan diri-Nya sampai ke tingkat di mana Dia bersedia berdiri sama tinggi dengan orang lain yang dikenai pajak dan ikut membayar pajak bersama mereka. Dia tidak berkata kepada si pemungut pajak, “Tahukah kamu siapa Aku? Tahukah kamu bahwa Bait itu adalah Bait Bapa-Ku? Lalu kamu mau meminta Aku untuk membayar pajak Bait Allah yang dua dirham itu? Tahukah kamu siapa Aku ini?” Tidak. Dia tidak pernah berbicara seperti itu, sekalipun Dia adalah Anak Allah dalam pengertian yang khusus. Dia berkata kepada Petrus, “Kita akan membayar pajak itu, kamu dan Aku akan membayarnya bersama-sama. Pergi dan bayarkan uangnya.”

Apa makna yang tersirat dari apa yang dilakukan Yesus ini? Ini saudara, Supaya di dalam segala hal Kristus tampak serupa dengan orang-orang berdosa. Dia membayar bea itu meskipun Dia tidak mempunyai dosa apa pun yang harus ditebus. Dan Dia sendiri adalah Sang Penebus. Penebus dosa manusia secara utuh! Dan memang  pada akhirnya Yesus menjadi penyempurna Taurat dan menjadi akhir dari Taurat itu saat diri-Nya menjadi Kurban dan Dia berkata “TETELESTAI/ “sudah selesai” (Yohanes 19:30). Di taman Getsemani pun, Yesus pernah berdoa dengan gentar, “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaKu.” Namun, itulah perintah Bapa yang harus ditaatiNya, maka Ia berkata, “Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku memi­num­Nya, jadilah kehendakMu.”.  Disitu Ia menyadari bahwa itu bukan hakNya melainkan ke­wajibanNya. Itulah hamba yang sejati!

Ketika seseorang mengerjakan kewajibannya, bukan berarti haknya telah di­buang dan sama sekali tidak diberikan. Filipi pasal dua mengatakan bahwa ketika Kristus se­dang menjalankan kewajiban dan tanggung jawab yang sangat berat dan serius se­ba­gai seorang hamba hingga mati di kayu salib, Allah mengaruniakan kepadaNya se­gala hor­mat dan kemuliaan. Semua lidah akan mengaku bahwa Dialah Tuhan, dan se­mua lu­tut akan bertelut di hadapanNya. Jadi, hak adalah hasil dan respek yang akan mun­cul jika manusia mau menyerahkan hak itu kembali kepada Tuhan. Di dalam Roma dika­ta­kan, walaupun kita dirugikan, dianiaya, dan difitnah namun pembalasan bukanlah hak ma­nu­sia melainkan hak Tuhan. Dunia mengajarkan balas dendam, namun jikalau ke­jahat­an dibalas dengan kejahatan, maka Kekristenan tidak berbeda dengan dunia. Ini­lah konsep kasih-integritas yang diperlihat Yesus kepada para pengikut-Nya.

Yesus telah memberikan teladan yang sangat berharga dalam soal kewajiban atau tanggung jawab, khususnya tanggung jawab pajak untuk Bait Allah. Ketika diperhadapkan pada kewajiban sebagai orang Yahudi untuk membayar pajak bait Allah, Ia tidak menghindar toh pun kewajiban membayar pajak Bait Allah tidak tercantum dalam Hukum Taurat. Walau peraturan itu diciptakan oleh para pemimpin agama. Yesus tetap membayarnya karena tidak ingin menjadi batu sandungan bagi para pemimpin agama (ayat 27). Ia tidak menjadikan pertentangan dengan para pemimpin agama sebagai alasan untuk tidak menaati peraturan. Yesus telah memperlihatkan bahwa HAK dan KEWAJIBAN adalah satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan. Orang yg punya ‘hak’ maka konsekwensinya dia juga harus punya ‘kewajiban dan tanggung jawab’. Semakin besar hak dituntut maka semestinya semakin besar pula kewajiban atau tanggung jawab yang diemban. AMIN.
_____________________________
(Oleh: Pdt.Kristinus Unting, STh.,M.Div)
share this with your Friends.

0 comments:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Renungan Harian Kristen | TNB